Sekarang kita masuk bahasannya, aurat pada laki-laki yang mesti ditutup dalam shalat.
Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam Manhajus Salikin,
وَمِنْ شُرُوْطِهَا : سَتْرُ العَوْرَةِ بِثَوْبٍ مُبَاحٍ لاَ يَصِفُ البَشَرَةَ
“Dan di antara syarat shalat adalah menutup aurat dengan pakaian yang mubah yang tidak menyifatkan kulit.”
Aurat Laki-Laki dalam Shalat
Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut. Ini berdasarkan kesepakatan empat ulama madzhab, inilah yang jadi pendapat kebanyakan ulama.
Adapun pusar dan lutut bukanlah termasuk aurat, inilah pendapat jumhur ulama (mayoritas), dalam madzhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Hambali).
Apakah Paha itu Aurat?
Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (32:57) disebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai paha itu aurat ataukah bukan. Kebanyakan ulama menganggap paha laki-laki itu aurat dan wajib untuk ditutup.
Ada hadits dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الفَخِذُ عَورةٌ
“Paha termasuk aurat.” (HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 2:228. Hadits ini shahih bisa dijadikan hujjah menurut Imam Al-Baihaqi. Juga ada riwayat dari Jarhad Al-Aslami diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, no. 2797, haditsnya hasan gharib dengan bentuk ini).
Para ulama yang berpendapat bahwa paha bukanlah aurat berdalil dengan riwayat berikut ini.
Anas radhiyallahu ‘anhu menceritakan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berperang di Khaibar. Lalu kami mengerjakan shalat shubuh yang waktu masih gelap. Kemudian Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam naik kendaraannya, dan Abu Thalhah pun naik kendaraannya di mana aku duduk membonceng Abu Thalhah. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melewati jalan sempit di Khaibar.
Anas pun berkata,
وَإِنَّ رُكْبَتِي لَتَمَسُّ فَخِذَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ حَسَرَ الْإِزَارَ عَنْ فَخِذِهِ حَتَّى إِنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ فَخِذِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sehingga kedua lututku bersentuhan dengan paha Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau membuka/menyingkap kain sarungnya dari pahanya hingga aku melihat putihnya paha Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari, no. 371). Dari hadits ini, Ibnu Hajar menyatakan bahwa bersentuhannya lutut dan paha di sini tentu tanpa ada pembatas. Karena menyentuh aurat tanpa ada pembatas, tidaklah dibolehkan. Lihat Fath Al-Bari, 1:481.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah berbaring di rumahku dalam keadaan paha atau betis beliau tersingkap. Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu meminta izin untuk menemui beliau dan beliau pun mengizinkan kemudian ia mengutarakan maksudnya. Setelah itu datanglah Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau pun mengizinkannya dan ia pun menyampaikan keperluannya. Datanglah Utsman radhiyallahu ‘anhu, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit untuk duduk dan merapikan bajunya–Muhammad berkata: “Saya tidak menyatakan mereka (ketiga sahabat tadi) masuk menemui nabi di hari yang sama–.
Utsman pun masuk dan mengutarakan keperluannya lalu ia keluar. Saya (Aisyah) pun bertanya, “Wahai Rasulullah ketika Abu Bakr dan Umar masuk menemuimu, namun Anda tidak menghiraukan kondisimu, namun sikap Anda berbeda ketika Ustman yang menemui anda?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ المَلاَئِكَةُ؟
“Apakah saya tidak malu kepada pria yang malaikat saja malu kepadanya?” (HR. Muslim, no. 2401)
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah menjelaskan bahwa dalam masalah ini ada beda pendapat di antara para ulama. Yang lebih hati-hati dalam beragama, dari sisi tinjauan akhlak dan muru’ah, hendaklah seorang pria muslim menutupi pahanya. Para ulama yang menganggap bahwa paha itu bukanlah aurat tetap mengingatkan dua kondisi: (1) saat shalat, (2) jika menimbulkan godaan. Kedua kondisi mengharuskan paha itu amannya ditutup.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Menurut salah satu pendapat dari Imam Ahmad, yang termasuk aurat adalah qubul dan dubur, sedangkan paha bukanlah aurat. Jadi boleh dipandang oleh lainnya. Namun hal ini tidaklah berlaku ketika shalat dan thawaf. Tidak boleh seseorang shalat dalam keadaan pahanya terbuka, baik yang menganggap paha termasuk aurat ataukah bukan. Dan seseorang juga tidak boleh thawaf dalam keadaan telanjang.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 22:116)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pendapat terkuat menurutku, paha bukanlah aurat kecuali jika ditampakkan dapat menimbulkan godaan. Yang ada pada para pemuda, wajib pahanya ditutup.” (Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin, 12:265)
Apakah Pundak Wajib Ditutup Saat Shalat?
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقَيْهِ شَيْءٌ
“Tidak boleh salah seorang di antara kalian shalat dengan satu helai kain yang tidak menutupi pundaknya sedikit pun.” (HR. Bukhari, no. 359 dan Muslim, no. 516)
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,
فَإِنْ كَانَ وَاسِعًا فاَلْتَحِفْ بِهِ، وَإنْ كَانَ ضَيِّقًا فَاتَّزِرْ بِهِ
“Jika pakaian itu lebar (bisa menutupi atas dan bawah), maka jadikan menutupi atas dan bawah (hingga pundak). Namun jika pakaiannya sempit, maka cukup jadikan sarung (menutupi bawah).” (HR. Bukhari, no. 361 dan Muslim, no. 3010)
Para ulama berselisih pendapat tentang disyaratkan sesuatu yang menutup pundak dalam shalat.
Pendapat pertama: menyatakan bahwa menutup pundak dengan sesuatu dalam shalat itu disunnahkan (tidak sampai wajib). Inilah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama seperti ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, serta merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Imam Ahmad.
Pendapat kedua: menyatakan bahwa menutup pundak saat shalat itu syarat. Inilah pendapat madzhab Hambali, juga menjadi pendapat Ibnu Hazm, Asy-Syaukani, dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berpendapat bahwa menutup pundak saat shalat adalah sunnah, bukanlah wajib, baik untuk shalat wajib maupun shalat sunnah. Hal ini berdasarkan hadits “jika memang sempit, maka jadikanlah sarung dengannya”. Pendapat yang menyatakan pundak itu disunnahkan ditutup, itulah pendapat yang lebih kuat dan jadi pendapat kebanyakan ulama. Perintah yang mengharuskan pundak ditutup bukanlah maksudnya pundak itu aurat. Namun demi kesempurnaan dalam berpakaian saat shalat, pundak itu ditutup. (Syarh Al-Mumthi’, 2:168)
Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menguatkan pendapat wajibnya menutup pundak, ia pun merinci:
- Jika memang pakaian itu lebar (bisa menutupi atas dan bawah), maka tutuplah atas dan bawah.
- Jika memang pakaian itu sempit (hanya bisa menutupi atas atau bawah), maka tutuplah aurat yang wajib yaitu antara pusar dan lutut. Dan sepakat ulama masih boleh shalat dengan sehelai kain saja sebagaimana kata Ibnu Rusyd dalam Bidayah Al-Mujtahid, 1:286.
Wallahu a’lam. Bahasan menutup aurat masih bersambung insya Allah.
Referensi:
- Asy-Syarh Al-Mumthi’ ‘ala Zaad Al-Mustaqni’. Cetakan pertama, Tahun 1422 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Majmu’ah Al-Fatawa. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Penerbit Darul Wafa’.
- Minhah Al–‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maraam.Cetakan ketiga, Tahun 1431 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Mulakhash Al–‘Ibadat. Cetakan kedua, Tahun 1438 H. Musyrif: ‘Alawi bin ‘Abdul Qadir As-Saqqaf. Penerbit Ad-Duror As-Saniyyah.
- Syarh Manhaj As–Salikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
—
Disusun di Dasinem Pogung Dalangan, Kamis Sore, 5 Rabi’ul Akhir 1440 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com